SELAMAT DATANG DI NEGERI CODOT, NEGERINYA ACHOUNK EL- ANSHORY

SELAMAT DATANG DI NEGERI CODOT, NEGERINYA ACHOUNK EL- ANSHORY

Jumat, 29 Juli 2011

HIDUP UNTUK MAKAN ATAU MAKAN UNTUK UNTUK HIDUP...???

Mana yang benar? Makan untuk hidup atau hidup untuk makan? Mungkin untuk menjaga wibawa atau memang benar-benar pecaya, kebanyakan orang pasti akan mengatakan makan untuk hidup. Kalau aku pribadi, jujur aja philosofi ku pastilah hidup untuk makan. Dan aku benar-benar percaya akan pandangan ini.
Sebuah pertanyaan yang menggelitik dan sering kita dengarkan, Hidup untuk makan atau makan untuk hidup? setiap orang pasti punya argumentasi yang berbeda tentang hal itu namun sekarang mari kita coba masuk dalam kerangka berfikir "State Of Mind" Kalau setiap saat yang kita pikirkan hanya makanan, maka rasa lapar mudah menghinggapi diri kita. silahkan dicari sendiri ya korelasinya antara proses biologis dengan proses psikologis tentang ungkapan itu, hehehe….

Mari kita lihat faktanya. Secara bahasa, yang benar adalah hidup untuk makan bukanlah makan untuk hidup. Kata-kata makan untuk hidup secara sintaksis tidak dapat diperdebatkan keabsahannya. Dalam tingkatan frase, kata-kata ‘makan untuk hidup’ telah memenuhi kaidah bahasa yang walaupun tidak memiliki subjek tapi telah memiliki predikat.

Namun secara semantik, kumpulan kata-kata itu tidak memiliki arti. Karena dalam tatanan semantik, suatu kalimat atau frase harus memiliki pengertian yang memenuhi logika. Sebagai contoh: ‘anak melahirkan ibunya’. Secara sintaksis kata-kata tersebut adalah kalimat diatas memiliki subjek kata ‘anak’, predikat ‘melahirkan’, dan objek kata ‘ibunya’, tapi kalimat diatas tidak memiliki logika bahasa dimana seorang anak tidak mungkin untuk melahirkan ibunya sendiri. Begitu juga dengan kalimat ‘makan untuk hidup’, kalimat ini memiliki pengertian bahwa makan bukanlah pekerjaan yang absolut dimana ada pilihan lain untuk hidup. Sedangkan kita ketahui bahwa tidak ada satupun manusia diatas dunia ini yang mampu untuk bertahan hidup tanpa ada asupan makanan.

Dalam kehidupan nyata, kalimat ‘hidup untuk makan’ juga lebih tepat daripada ‘makan untuk hidup’ walaupun bakalan banyak orang yang menyangkalnya terutama mereka-mereka yang menerapkan’ hidup untuk makan’.

Kata ‘makan’ dalam konteks ini bukan hanya memiliki arti memakan makanan, namun ‘makan’ memliki arti yang lebih luas. Banyak orang yang berlomba-lomba untuk menumpuk kekayaan dengan cara yang halal maupun haram. Banyak juga yang menggadaikan semua yang dimiliki secara moril maupun materiil untuk mendapatkan kekuasaan. Banyak lagi yang melakukan apa saja untuk mendapatkan popularitas. Jadi makan itu bukan hanya untuk memuaskan nafsu lapar kita akan makanan tapi makan juga adalah tindak kelakuan kita untuk memenuhi nafsu yang lain. 

Dari masa ke masa, jaman ke jaman, manusia selalu berlomba untuk menguasai segala hal yang dapat dikuasai di dunia ini. Jika manusia tidak dapat menguasai suatu hal langsung dari alam atau mampu menciptakan hal untuk memenuhi nafsunya, maka mereka akan berusaha untuk menguasai hal-hal yang telah dikuasai oleh yang lain. Telah banyak manusia yang menjadi korban untuk memenuhi hawa nafsu yang lain dikarenakan keinginannya untuk makan. Karena keinginan manusia untuk makan inilah maka sejarah manusia selalu dipenuhi dengan pembunuhan dan pemerkosaan

Untuk itulah tentang bagaimana semestinya kita menyikapi makanan, Rasulullah pernah bersabda: “makanlah di kala sudah merasa lapar dan berhentilah sebelum kenyang.” Sabda ini mengajarkan pentingnya berbuat bijak pada makanan. Makan secukupnya, tidak berlebihian, sebatas memenuhi asupan gizi dan kebutuhan kalori. Intinya makan sekedar untuk bisa hidup, bukan sebaliknya, hidup untuk makan.

Sayangya, seiring makanan sudah menjadi industri pengepul rupiah melalui bendera wisata kuliner dan iklan makanan bertebaran di mana-mana, tidak sedikit orang yang sulit merasa cukup dan gagal menahan nafsu makannya. Selesai mencoba menu di warung A,  pingin segera mencoba sajian di rumah makan B, kemudian di restoran C, dan begitu seterusnya yang menguatkan sindiran “for human, enough is never enough!” Tanpa sadar, kita termasuk bagian pendukung “ideologi” hidup untuk makan ini dengan aktif memasang status dan gambar makanan yang akan kita santap di FB.  Padahal secara sosial, filosofi hidup untuk makan inilah yang mengantarkan ketimpangan. Di satu pihak, kita saksiakan orang-orang berlebih dengan santai setiap saat bertanya “nanti kita mau makan di mana (?)” sebab bingung menentukan pilihan tempat makan mana yang belum dicoba, namun di pihak lain banyak saudara kita yang masih bertanya “nanti kita mau makan apa (?)” sebab tidak ada yang bisa di makan.

Maka, jangan heran bila bukan sehat yang didapat oleh para pengumbar nafsu makan ini, namun tumpukan lemak yg menimbun di tubuh. Raga tidak lagi menjadi tempat nyaman berdiamnya jiwa, berubah menjadi “tong sampah” berjalan. Obeisitas-pun menjamur dimana-mana.


Jadi sekarang milih yang mana? Pura-pura percaya kalau kita makan untuk hidup atau mau jujur mengakui kalau kita itu hidup untuk makan!!!

Kamis, 28 Juli 2011

Malaikat pun Akan Turut Mendo'akan Orang-Orang Ini..

Allah SWT berfirman, “Sebenarnya (malaikat-malaikat itu) adalah hamba-hamba
yang dimuliakan, mereka tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka
mengerjakan perintah-perintah-Nya. Allah mengetahui segala sesuatu yang
dihadapan mereka dan yang dibelakang mereka, dan mereka tidak memberikan
syafa’at melainkan kepada orang-orang yang diridhai Allah, dan mereka selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya” (QS Al Anbiyaa’ 26-28)

Jadi siapa yang tak ingin didoakan oleh makhluk Allah yang paling taat ini?
Kalau ingin didoakan para malaikat, lakukanlah amal sholeh berikut ini.

1.. Orang yang tidur dalam keadaan bersuci. Imam Ibnu Hibban meriwayatkan
dari Abdullah bin Umar ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang
tidur dalam keadaan suci, maka malaikat akan bersamanya di dalam pakaiannya.
Dia tidak akan bangun hingga malaikat berdoa ‘Ya Allah, ampunilah hambamu si
fulan karena tidur dalam keadaan suci’” (hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib I/37)

2.. Orang yang duduk menunggu shalat. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra.,
bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah salah seorang diantara kalian yang duduk menunggu shalat, selama ia berada dalam keadaan suci, kecuali para malaikat akan mendoakannya ‘Ya Allah, ampunilah ia. Ya Allah sayangilah ia’” (Shahih Muslim no. 469)

3.. Orang - orang yang berada di shaf bagian depan di dalam shalat. Imam Abu
Dawud (dan Ibnu Khuzaimah) dari Barra’ bin ‘Azib ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada (orang - orang) yang berada pada shaf - shaf terdepan”
(hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud I/130)

4.. Orang - orang yang menyambung shaf (tidak membiarkan sebuah kekosongan di dalm shaf). Para Imam yaitu Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Al Hakim meriwayatkan dari Aisyah ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat selalu bershalawat kepada orang - orang yang menyambung shaf - shaf” (hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib I/272)

5.. Para malaikat mengucapkan ‘Amin’ ketika seorang Imam selesai membaca Al
Fatihah. Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Jika seorang Imam membaca ‘ghairil maghdhuubi ‘alaihim waladh dhaalinn’, maka ucapkanlah oleh kalian ‘aamiin’, karena barangsiapa ucapannya itu bertepatan dengan ucapan malaikat, maka ia akan diampuni dosanya yang masa lalu” (Shahih Bukhari no. 782)

6.. Orang yang duduk di tempat shalatnya setelah melakukan shalat. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Para malaikat akan selalu bershalawat kepada salah satu diantara kalian selama ia ada di dalam tempat shalat dimana ia melakukan shalat, selama ia belum batal wudhunya, (para malaikat) berkata, ‘Ya Allah ampunilah dan sayangilah ia’”
(Al Musnad no. 8106, Syaikh Ahmad Syakir menshahihkan hadits ini)

7.. Orang - orang yang melakukan shalat shubuh dan ‘ashar secara berjama’ah.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Para malaikat berkumpul pada saat shalat shubuh lalu para malaikat ( yang menyertai hamba) pada malam hari (yang sudah bertugas malam hari hingga shubuh) naik (ke langit), dan malaikat pada siang hari tetap tinggal. Kemudian mereka berkumpul lagi pada waktu shalat ‘ashar dan malaikat yang ditugaskan pada siang hari (hingga shalat ‘ashar) naik (ke langit)

sedangkan malaikat yang bertugas pada malam hari tetap tinggal, lalu Allah bertanya kepada mereka, ‘Bagaimana kalian meninggalkan hambaku ?’, mereka menjawab, ‘Kami datang sedangkan mereka sedang melakukan shalat dan kami tinggalkan mereka sedangkan mereka sedang melakukan shalat, maka ampunilah mereka pada hari kiamat’” (Al Musnad no. 9140, hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir)

8.. Orang yang mendoakan saudaranya tanpa sepengetahuan orang yang didoakan. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ummud Darda’ ra., bahwasannya Rasulullah SAW bersabda, “Doa seorang muslim untuk saudaranya yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang didoakannya adalah doa yang akan dikabulkan. Pada kepalanya ada seorang malaikat yang menjadi wakil baginya, setiap kali dia berdoa untuk saudaranya dengan sebuah kebaikan, maka malaikat tersebut berkata ‘aamiin dan engkaupun mendapatkan apa yang ia dapatkan’” (Shahih Muslim no. 2733)

9.. Orang-orang yang berinfak. Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak satu hari pun dimana pagi harinya seorang hamba ada padanya kecuali 2 malaikat turun kepadanya, salah satu diantara keduanya berkata, ‘Ya Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfak’. Dan lainnya berkata, ‘Ya Allah, hancurkanlah harta orang yang pelit’”
(Shahih Bukhari no. 1442 dan Shahih Muslim no. 1010)

10.. Orang yang makan sahur. Imam Ibnu Hibban dan Imam Ath Thabrani, meriwayaatkan dari Abdullah bin Umar ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang - orang yang makan sahur”
(hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhiib wat Tarhiib I/519)

11.. Orang yang menjenguk orang sakit. Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seorang mukmin menjenguk saudaranya kecuali Allah akan mengutus 70.000 malaikat untuknya yang akan bershalawat kepadanya di waktu siang kapan saja hingga sore dan di waktu malam kapan saja hingga shubuh”
(Al Musnad no. 754, Syaikh Ahmad Syakir berkomentar, “Sanadnya shahih”)

12.. Seseorang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain. Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Abu Umamah Al Bahily ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Keutamaan seorang alim atas seorang ahli ibadah bagaikan keutamaanku atas seorang yang paling rendah diantara kalian. Sesungguhnya penghuni langit dan bumi, bahkan semut yang di dalam lubangnya dan bahkan ikan, semuanya bershalawat kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain”
(dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Kitab Shahih At Tirmidzi II/343)

Rabu, 27 Juli 2011

Sumbere Podo, Sing Ngajari Podo, Sing Diwoco Podo, Carane yo Podo Tapi Hasile Bedo

HASIL NGAJI KE SYAIKH ABAH QAMARUZZAMAN AL-HUSAINI 


Allah berfirman, “berdoalah kepada-Ku niscaya akan Kukabulkan.”

Dalam keseharian ada banyak orang yang berdoa tetapi seperti tak ada jawaban. Kaum Islam modernis atau non-Sufi yang mengedepankan intelektualitas rasio akan menghubungkan kesalahan pada orang yang berdoa, tetapi dengan lebih menisbahkannya pada kurangnya “pendayagunaan kemampuan diri” atau kurang ikhtiar untuk mewujudkan doa. Sufi juga mengatakan hal yang sama, namun dengan lebih menisbahkan kesalahan dalam “adab esoteris (batiniah)” dan keadaan batin yang kurang tepat.

Bagi Sufi, tidak terealisasinya doa secara segera disebabkan karena seseorang masih mengandalkan sesuatu yang lain selain Tuhan dalam rangka mewujudkan apa yang dimintanya. Kebanyakan manusia, kata Sufi, hanya berdoa dengan “lisan ucapan,” bukan dengan “lisan keadaan” (lisan al-hal). Mereka berdoa, misalnya minta rezeki, tetapi yang keluar baru “lisan ucapan,” sementara “lisan keadaannya” belum ikut meminta. Keadaan seseorang adalah senantiasa membutuhkan, fakir, miskin, tak berdaya. Sayangnya, sembari berdoa, orang umumnya masih belum mengakui kefakiran eksistensialnya, masih ada setitik noda kesombongan baik itu disadari atau tidak, yakni noda keangkuhan eksistensial “tersembunyi” yang menyatakan bahwa jika dirinya berusaha, atau melakukan ini atau itu, sesuai hukum sebab akibat, maka tujuannya akan tercapai.

Dengan kata lain, orang awam pada dasarnya hanya menjadikan doa sebagai pelengkap penyerta, seolah-olah doa adalah aspek sekunder dalam tindakannya. Padahal, menurut pandangan Sufi, karena doa adalah otak ibadah, dan Tuhan tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah, maka doa bukan aspek sekunder, tetapi primer. Dalam berdoa seseorang mesti memusatkan perhatiannya kepada Yang Dicari Permohonannya, bukan pada dirinya sendiri, sebab selama ia masih memandang dirinya sebagai sesuatu yang memiliki daya, ia tak bisa dikatakan “berdoa” dalam arti sesungguhnya. Inilah sebagian dari makna sabda Kanjeng Rasulullah SAW, “Doa tidak akan dikabulkan dari hati yang lalai,” yakni tidak memperhatikan adab dan hakikat doa itu sendiri.

Kondisi ini menyebabkan seseorang harus selalu berbaik sangka kepada Tuhan. Di sini juga terdapat rahasia dari perintah Nabi saw agar kita selalu mengulang-ngulang doa, terus-menerus setiap hari. Ini adalah cara menanamkan kesadaran dalam diri kita akan kebutuhan kita dan karenanya membangkitkan lisan al-hal untuk “berdoa” mengiringi ucapan doa. Doa yang paling baik, menurut Sufi, karenanya, adalah berupa pengakuan yang tulus akan keadaannya sebagai hamba. Bentuk doa ini biasanya disebut munajat, percakapan intim, yang hanya bisa muncul berkat karunia ilahi. Contoh yang paling terkenal adalah munajat I’tiraf dari Abu Nuwas, yang kerap dibaca sehabis shalat Jum’at.

Karena conditio sine qua non dari doa ini tak terpenuhi, tak heran doa akan terasa seperti tidak terkabul. Dengan kata lain, meski seseorang telah berdoa, namun karena dia masih mengandalkan pada usaha dari dirinya sendiri, maka doa tak dikabulkan dengan segera, atau ditunda, atau sebagai tebusan atas dosanya, atau diganti sesuatu yang lain yang lebih cocok dengannya. Doa yang segera dikabulkan hanya berasal dari doa seseorang yang sudah menyandarkan segala sesuatu sepenuhnya, secara total, hanya kepada Allah semata.

Tetapi harus segera ditambahkan di sini bahwa “ketidakterkabulan” doa ini adalah relatif, sebab Allah telah berfirman “berdoalah kepada-Ku maka akan Kukabulkan.” Jadi ketidakterkabulan itu adalah bentuk lain dari keterkabulan doa, sebab Allah lebih tahu ketimbang hamba-Nya tentang apa-apa yang dibutuhkan oleh hamba-hamba-Nya itu. Boleh jadi seseorang meminta sesuatu padahal sesuatu itu buruk baginya, dan vice versa; karenanya pengabulan Allah selalu berdasarkan kepada “kebutuhan yang terbaik,” bukan berdasar “keinginan” kita yang bisa jadi salah atau berlebihan dan tidak cocok dengan keadaan lahir-batin kita. Analoginya, jika seorang anak TK minta pistol sungguhan kepada ayahnya, sudah barang tentu ia tidak akan diberi, dan dalam kasus ini “tidak memberi” adalah bentuk lain dari ”memberi,” yakni mencegah kemudharatan. Dengan cara yang sama, Allah tidak memberi sesuatu yang dipinta si hamba dalam rangka memberi sesuatu yang lain yang lebih besar manfaatnya, atau setidaknya sesuatu yang mencegah mudharat yang lebih besar kepada hambanya. Bagi sufi, pemahaman ini penting supaya seorang hamba tidak berburuk sangka kepada-Nya, sebab berburuk sangka akan membawa konsekuensi yang berbahaya, mengingat ada hadis qudsi yang menyatakan “Aku [Allah] adalah sebagaimana prasangka hamba-Ku.”

Menurut Sufi, seseorang harus yakin bahwa Allah telah mengetahui, atau bahkan menciptakan, kebutuhannya, bahkan sebelum orang berdoa. Karena itu Syekh Ibnu Athaillah as-Askandari r.a dalam Kitab al-Hikam mengatakan, “yang dibutuhkan darimu hanyalah kepasrahan dan pengakuan total bahwa engkau dalam keadaan yang amat membutuhkan.” Allah telah menetapkan bahwa Dia akan mengabulkan doa siapa saja yang merasa butuh. Firman-Nya, “Siapa yang mengabulkan doa orang yang dalam keadaan membutuhkan [idhthirar]? Dan siapa yagng menghilangkan kesusahan dan menjadikan kamu khalifah di muka bumi? Adakah Tuhan selain Allah?” (Q.S 27:62). Keadaan “membutuhkan” dalam pengertian ayat itu adalah keadaan “tak punya pilihan,” dan hilangnya “kehendak bebas.” Dari sudut pandang modern, barangkali terdengar aneh dan tak dapat diterima, karena kehilangan kehendak bebas dan pilihan akan menyebabkan seseorang terbelenggu. Namun bagi Sufi, keadaan ini adalah pantulan dan kemerdekaan yang sesungguhnya, kebebasan dari belenggu nafs (hawa nafsu rendahan). Syekh Hakim al-Tirmidhi r.a. menerangkan,

“Karena sudah tak tahu mesti berbuat apa lagi, seseorang akan menghadap kepada Tuhannya dengan kesungguhan, mengakui segala kehinaan dan kerendahannya, dan pasrah dalam arti sesungguhnya. Tetapi Tuhan berfirman, Dialah yang memperkenankan doa orang yang dalam kesulitan ketika dia berdoa kepada-Nya (Q.S. 27:62). Ayat ini menjelaskan bahwa meski hati kita bersemangat dan berupaya sungguh-sungguh, tetap saja keburukan tidak tersingkir dari diri kita, dan tetap saja ada doa yang tak diperkenankan, kecuali doa dan semangat hati kita diarahkan setulusnya kepada Allah semata, karena hanya Allah sajalah yang bisa membuat hati merasakan kesulitan dan sangat membutuhkan-Nya ... Orang yang berjalan dalam kesulitan ... adalah orang yang sungguh patut mendapat rahmat dan pertolongan-Nya ... Dia ditolong dengan rahmat-Nya karena doanya tulus. Doa mustahil tulus, kecuali setelah seseorang mengalami kesulitan, tak memiliki pegangan dan tak punya rujukan. Orang yang satu perhatiannya di arahkan kepada Tuhan dan satunya lagi diarahkan pada upayanya sendiri, maka dia belum benar-benar dalam kesulitan” [dan karenanya belum berdoa dalam arti yang hakiki].

Jadi, intinya, dibutuhkan ketulusan dan kepasrahan total agar doa lekas terjawab. Tetapi kondisi kepasrahan total ini sangat sulit dicapai, walau tidak mustahil, terutama dalam aspek batinnya, sebab kondisi ini berhubungan dengan wilayah kebenaran mistis (haqiqat]. Seseorang harus mencapai kondisi kepasrahan lahir dan batin seperti yang dicapai Maryam agar ia bisa mendapatkan makanan langsung dari Tuhan tanpa bekerja—Zakaria bertanya, wahai Maryam, dari mana hidangan ini? ‘Dari Allah, dan Dia memberi rezeki kepada orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas’ (QS. 3: 37). Dengan kata lain, seseorang harus menjadi ‘yang dikehendaki Allah’ agar mendapat rezeki tanpa batas—tanpa dibatasi oleh hukum sebab-akibat. Rezeki bukan hanya makanan, tetapi juga rezeki kesehatan, ilmu, harta, dan seterusnya. Jadi, jika orang yang terus-menerus membaca, misalnya, Surah Al-Waqi’ah, dengan ijazah dan kaifiyat yang benar dan secara batin berusaha menyempurnakan dirinya, niscaya, seperti dikatakan oleh Kanjeng Rasulullah SAW, rezeki itu datang secara tak terduga. Orang yang menyempurnakan istighfarnya lahir batin, maka sebagaimana dijanjikan Allah, rezeki akan datang dari arah tak terduga. Dengan cara yang sama, barangsiapa bertakwa kepada Allah, maka akan ditunjukkan jalan kepada-Nya, akan mendapatkan ilmu langsung dari sisi-Nya, ‘ilm al-ladunni. Hal-hal seperti ini hanya dialami oleh segelintir orang saja, yakni para Nabi dan para wali Allah yang berkedudukan mulia, dan orang-orang yang mendapat hidayah.

Jadi tidak mengherankan jika kita jumpai fenomena orang-orang berduyun-duyun berdatangan ke Kiai yang telah dianggap wali Allah untuk memohon agar didoakan, sebab wali yang sudah dalam kondisi seperti tersebut di atas diyakini doanya makbul. Namun perlu diingat bahwa “kepasrahan total” ini harus dibedakan dengan putus asa dan menggantungkan harapan pada keajaiban semata tanpa ikhtiar. Kepasrahan di sini adalah sikap batin, bukan tindak lahiriah. Jika kepasrahan ini diletakkan dalam konteks yang keliru, maka akan muncul fatalisme atau determinisme (jabariyyah) yang jelas-jelas keliru karena mengesampingkan potensi ikhtiar manusia, dan karenanya bertentangan dengan Kehendak Ilahi yang menghendaki ikhtiar perjuangan atau jihad atau mujahadah di pihak hamba-Nya. Jadi kepasrahan tempatnya ada wilayah batin, bukan di wilayah lahir — secara lahir manusia tetap diwajibkan ikhtiar.

Ini adalah bagian dari misteri “kecepatan” terwujudnya sesuatu, kun fa yakun. Dalam tradisi Sufi, seseorang yang telah mencapai maqam baqa dan disempurnakan oleh Allah, maka ia akan masuk ke maqam kun, di mana Allah akan menjadi pendengarannya, penglihatannya dan seterusnya, seperti dinyatakan dalam hadis qudsi. Tetapi harus ditambahkan bahwa keadaan ini tidak bisa dicapai oleh seseorang yang dalam dirinya masih ada sesuatu selain Allah, yang masih mengikuti keinginannya sendiri, yang masih mengandalkan pada dirinya sendiri, yang masih menyukai dosa, yang masih memelihara hawa nafsunya, dan yang masih memandang keragaman wujud bukan dalam kerangka Kesatuan Wujud. Orang yang masih memandang dirinya sendiri (dengan segala ilusi potensialitasnya) akan “ditinggalkan” oleh petunjuk, sebagaimana Musa ditinggalkan oleh Khidir
 
 
 
 


Dalam paradoks kepasrahan/ikhtiar dan doa ini terkandung misteri yang hanya bisa dipahami melalui zawq, atau “rasa” spiritual, seperti tersirat dalam ungkapan Sufi, “Bukan engkau yang memilih jalan, namun jalanlah yang memilihmu.”

Wa Allahu a’lam bi ash-shawab

Selasa, 26 Juli 2011

MEMBUKA RAHASIA FORMULA HATI


Telah lama kita dengar bahwa "Hati" adalah tempat berniat , hati adalah tempat berdzikir juga tempat berdoa.
Dari itu dapat diketahui bahwa hati disebut juga " Tempat".
Hati sebagai tempat berdoa , artinya bahwa didalam hati itu ada perbuatan dari lidah yang menghasilkan ucapan berupa doa [ permintaan / panggilan ] , hal ini oleh ulama terdahulu disebut dengan bersyariat dng lidah yang batin.
Demikian juga jika berdzikir itu diartikan mengucapkan kalimat tertentu yang dilakukan berulang kali , maka jelaslah bahwa didalam hati itu ada perbuatan lidah dalam menyebut sesuatu secara berkali-kali.
Jika didalam hati itu ada lisan atau Kalam , maka didalam hati itu juga terdapat adanya :
1. Iradat [ Kehendak / kemauan ]
2. Hayat [ Rasa ]
3. Qodrat [ tenaga / energi ]
4. Ilmu [ Pengetahuan ]
5. Samak [ Pendengaran ]
6. Bashar [ Pengelihatan ]

Tanpa disadari serta tanpa sepengetahuan , ternyata semua orang itu pernah menggunakan tujuh anugerah yang tersimpan didalam hati tersebut.

" Puja dan Puji syukur pada Allloh swt jala wa alaa yang telah memberikan anugerah yang tiada terkira kepada manusia "
Mari kita telusuri hal tersebut :
"Si Adol ingin sekali berdzikir di Malam hari sebanyak 500 kali didalam hati maka dia tidak keluar kamar malam ini ".
Dari kalimat tersebut didapatkan Rumusan :
a. adanya keinginan = Iradat .
b. berdzikir = Kalam .
c. sebanyak /hitungan = Ilmu .
d. 500 x = Qodrat .
Dapat difahamkan bahwa :
Iradat pada Si Adol telah menuntut Kalam menggunakan Ilmu dan Tenaga untuk berdzikir dalam hati dimalam hari.
Formulasi :
Jika Iradah = [Ir] , Kalam [K] , Ilmu [I ] dan tenaga atau Qudrat =[Q]
Maka rumus Dzikir dlm hati [ DH ] =
DH = { [Ir]+[K]+[I]+[Q] }
formula ini dapat dibaca :
Dzikir adalah himpunan dari mufakat Iradat pada Kalam , Ilmu dan Qodrat.
1.Pertanyaan : Bagaimana jika ilmu tidak ikut mufakat ?
Jawaban : Ilmu adalah Tau atau mengetahui , jika ilmu tidak bermufakat maka orang tidak akan dapat berkata dengan benar dan menghitung jumlah dengan benar , artinya dzikir akan kacau .
Maka benarlah ada perintah dan anjuran yang berbunyi "jangan kamu lakukan sesuatu tanpa ilmu pengetahuan ".
2.Pertanyaan : Bagaimana jika Qudrat tak mufakat ?
Jawaban : Qudrat adalah energi / tenaga jika tenaga tak berfungsi/mufakat maka tiada gerak getar dlm hati dan berarti dzikir batal dilakukan karena energilah yang menggerakkan kalam dengan ilmu sesuai Iradat [ keinginan ].
3. Pertanyaan : Katanya didalam hati itu ada penyakitnya ?
Jawaban : Jika didalam hati itu ada penyakitnya maka itu adalah hati yang lain atau bukan hati yang menjadi tempat untuk berdzikir.

Puncak - pancer segala Dzikir didalamnya adalah adanya Allloh , maka dikatakanlah bahwa hati itu adalah "Baitullah" [ rumah Allloh ] , jadi kalo dalam hati ada penyakit itu bukan baitullah tapi "Baitunnafsa "[ rumahnya hawa nafsu ] , rumah [makom ] hawa nafsu inilah yang harus dibersihkan agar tidak menyebarkan bibit penyakit kemana-mana.

KEADAAN HATI [ BAITULLOH ] :
Bagaimana keadaan hati tempat berdzikir yang disebut Baitulloh [Rumah Allloh] itu ?.
a. Pertama Allloh itu Maha suci maka ia tidak diperkenankan untuk diumpamakan dengan segala sesuatu apapun [ laisa kamislihi ].
b. Tempat atau wadah = Dzat yang berwujud wadah/tempat.
c. Karena Allloh adalah "Laisa kamislihi " maka rumah Allloh [ baitulloh ] sudah pasti juga " Laisa kamislihi ".
Akan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa keadaan Hati [ Baitulloh ] itu adalah Laisa kamislihi.

** Hati/ Qolbu = Tempat [wujud Dzat] laisa kamislihi **
1.Pertanyaan : Sesuai uraian diatas ini siapakah yang dimaksudkan dengan " Ahlul-Bait " ?
Jawaban : Ahlu = Ahli , Ahlul Bait adalah orang yang mengerti benar segala seluk beluk isi didalam Hati [ Baitulloh ] , ibarat rumah maka hanya yang menghuni rumah yang mengerti keadaannya .
2.Pertanyaan : Tanpa sengaja kita kadang merasakan adanya perubahan hati atauberbolak baliknya hati , apa sebenarnya yang terjadi..?
Jawaban : Diatas telah disinggung adanya Hati yang menjadi tempat niyat dan berdzikir [ Baitulloh ] dan hati yang ada penyakit [ Baitunnafsa ] , jadi jelas jika orang itu dapat saja berbolak balik dari hati Baitulloh ke Baitunnafsa , maka diperlukan usaha ikhtiar yang dengan sungguh sungguh untuk bertahan pada Baitulloh , dan Rosululloh saw telah berpesan untuk mewaspadai keadaan ini kepada para sahabat yang setia ,bahkan Rosululloh saw mengajarkan untuk berdoa mohon pada " Dia yang Menguasai Hati " untuk dapat memperoleh ketetapan [ kebulatan ] hati agar dapat beribadah dengan benar.

" Yaa Mukholibal Qulub tsabit qulubana alaa Dienika "
[ Wahai ....Engkau yang Maha Mengetahui berbolak baliknya hati , tetapkanlah hati ini dalam aturan Agama yang telah Engkau tetapkan ]
Selanjutnya disertai dengan Bismillah , dengan adanya uraian tentang Baitulloh dan Baitunnafsa kita sampai kepada satu kesimpulan dimana kita berdiri ketika beribadah itu .
Jika kita berdiri pada "Baitulloh" maka ibadah yang kita lakukan aman tentram tenang tak ada gangguan apapun juga , hanya pada baitulloh inilah adanya khusyu ,maka hanya di baitulloh ini kita dapat meluruskan niyat menghadap pada wajahulloh.
Jika kita beribadah diatas "Baitunnafsa" maka ibadah yang dilakukan akan menemui banyak godaan dan fitnah , baik itu fitnah nyata seperti problema hidup sehari hari maupun fitnah tersembunyi yang berasal dari bisikan jin dan hawa nafsu.
 

Dapat dikatakan keadaan hati pada manusia itu laksana sebuah mata uang dengan dua sisi gambar yang berbeda tetapi tetep laku untuk berniaga , maka selanjutnya kemana anda mau berdiri adalah anda yang memilih dan menentukan sendir.
 
dikutip dari pasuryan.blogspot.com

Minggu, 24 Juli 2011

BELAJAR DARI MAWAR DAN TERATAI

alkisah di suatu negeri antah berantah ada seorang anak bertanya pada ibunya tentang arti cinta…………
sang ibu yg kebetulan adalah seorang janda yg baru saja dicerai oleh suaminya karena suaminya mempunyai seorang kekasih gelap dan seorang istri muda.

sang ibu menjawab :” cinta adalah sebuah kekuatan untuk menyayangi walaupun hatimu telah sakit.”
sang anak bertanya lagi : ” ibu walau sudah disakiti ayah apakah masih mencintai ayah?”

sang ibu menjawab : “yah,,, walaupun telah disakiti oleh ayah mu hati kecil ibu masih berkata bahwa ibu masih mencintainya.”

anak :” wahh kalau cinta memang harus terasa sakit saya seumur hidup tidak akan pernah mencintai seseorang.”

ibu:” tidak semua cinta harus merasakan sakit, dan tidak semua sakit karena cinta.”
lalu sang ibu menceritakan cerita tentang mawar, dan teratai untuk menggambarkan bahwa walau sakit dan pedih mawar dan teratai tetap bisa menebarkan senyumnya dan cintanya untuk semua orang.

MAWAR tetap segar dan memancarkan keindahan cinta pada setiap orang walaupun disekitarnya tumbuh duri duri…. dan bagi MAWAR kotoran yg ada di tanahnya tetap dan makin membuat indah senyumnyaaa…..
TERATAI makin mengembang jika air di bawahnya semakin kotor…….

mendengar penjelasan sang ibu sang anak hanya berdecak kagum dan berkata :” wahh andaikan di dunia ini semua orang bisa meniru kadar cinta dan kasih mawar dan teratai pasti di muka bumi ini akan tenteram dan damai tidak akan ada dendam.”

lalu sang anak bertanya lagi pada ibunya ” lalu dimanakah saya mencari cinta yg murni yg tidak harus mendapatkan sakitnya.”

sang ibu menjawab:” sesungguhnya untuk mencari cinta sejatimu sangat sulit karena biasanya cinta sejatimu tersembunyi seperti permata yang indah di dasar lautan dan memang harus dicari…. jika engkau sabar dan tidak menyerah maka kau akan mendapatkannya.
Setelah mendapatkannya engkaupun harus mengolah cintamu itu agar lebih berkilau.”
sang anak :” mengolah ?”

ibu :” ya mengolah seperti permata yg diolah untuk dijadikan perhiasan. tetapi cintamu itu diolah dengan saling
pengertian, kejujuran dan keterbukaan.”





http://noveloke.co.cc/cooment.gif

CAKRAWALA UNGU....


1. Ada dua orang, bapak dan anaknya melihat sebuah mobil impor yang sangat mewah. Dengan nada yang tidak pantas si anak berkata kepada ayahnya, “Orang yang duduk dalam mobil jenis ini, pastilah orang yang berpengetahuan sangat minim!” Ayahnya lalu mejawab secara sepintas lalu, “Orang yang mengucapkan kata-kata semacam ini, dalam sakunya pasti tidak ada duit!”

Bagaimana pandangan Anda mengenai masalah ini, apakah juga mencerminkan sikap sebenarnya dalam hati Anda?

2. Setelah makan malam, seorang ibu dan putrinya bersama-sama mencuci mangkuk dan piring, sedangkan ayah dan putranya menonton TV di ruang tamu. Mendadak, dari arah dapur terdengar suara piring yang pecah, kemudian sunyi senyap. Si putra memandang ke arah ayahnya dan berkata, “Pasti ibu yang memecahkan piring itu.”
“Bagaimana kamu tahu?” kata si Ayah.
“Karena tak terdengar suara dia memarahi orang lain.” Kita semua sudah terbiasa menggunakan standar yang berbeda melihat orang lain dan memandang diri sendiri, sehingga acapkali kita menuntut orang lain dengan serius, tetapi memperlakukan diri sendiri dengan penuh toleran.
3. Ada dua grup pariwisata yang pergi bertamasya ke pulau Yi Do di Jepang. Kondisi jalannya sangat buruk, sepanjang jalan terdapat banyak lubang. Salah satu pemandu berulang-ulang mengatakan keadaan jalannya persis seperti orang yang jerawatan.
Sedangkan pemandu yang satunya lagi berbicara kepada para turisnya dengan nada puitis, “Yang kita lalui sekarang ini adalah jalan protokol ternama di Yi Do yang bernama jalan berdekik yang mempesona.”


Walaupun keadaannya sama, namun pikiran yang berbeda akan menimbulkan sikap yang berbeda pula. Pikiran adalah suatu hal yang sangat menakjubkan, bagaimana berpikir, keputusan berada di tangan Anda. 4. Murid kelas 3 SD yang sama, mereka memiliki cita-cita yang sama pula yaitu menjadi badut. Guru dari Tiongkok pasti mencela, “Tidak mempunyai cita-cita yang luhur, anak yang tidak bisa dibina!”
Sedangkan guru dari Barat akan bilang, “Semoga Anda membawakan kecerian bagi seluruh dunia!”
Kita sebagai angkatan tua, bukan hanya lebih banyak menuntut daripada memberi semangat, malahan sering membatasi definisi keberhasilan dengan arti yang sempit.
5. Istri sedang memasak di dapur. Suami yang berada di sampingnya mengoceh tak berkesudahan, “Pelan sedikit, hati-hati! Apinya terlalu besar. Ikannya cepat dibalik, minyaknya terlalu banyak!”
Istrinya secara spontan menjawab, “Saya mengerti bagaimana cara memasak sayur.”
Suaminya dengan tenang menjawab, “Saya hanya ingin dirimu mengerti bagaimana perasaan saya … saat saya sedang mengemudikan mobil, engkau yang berada disamping mengoceh tak ada hentinya.”

Belajar memberi kelonggaran kepada orang lain itu tidak sulit, asalkan Anda mau dengan serius berdiri di sudut dan pandangan orang lain melihat suatu masalah.
6. Sebuah bus yang penuh dengan muatan penumpang sedang melaju dengan cepat menelusuri jalanan yang menurun, ada seseorang yang mengejar bus ini dari belakang.
Seorang penumpang menjengukkan kepala keluar jendala bus dan berkata dengan orang yang mengejar bus, “Hai kawan! Sudahlah Anda tak mungkin bisa mengejar!”
“Saya harus mengejar dia…” Dengan nafas tersenggal-senggal dia menjawab, “Saya adalah pengemudi dari bus ini!”
Ada sebagian orang harus berusaha keras dengan sangat serius, jika tidak demikian, maka akibatnya akan sangat tragis! Namun juga dikarenakan harus menghadapi dengan sekuat tenaga, maka kemampuan yang masih terpendam dan sifat-sifat khusus yang tidak diketahui oleh orang lain selama ini akan sepenuhnya muncul keluar. 7. Si A : “Tetangga yang baru pindah itu sungguh jahat, kemarin tengah malam dia datang ke rumah saya dan terus menerus menekan bel di rumah saya.”
Si B : “Memang sungguh jahat! Adakah Anda segera melapor polisi?”
Si A : “Tidak. Saya menganggap mereka orang gila, yang terus menerus meniup terompet kecil saya.”


Semua kejadian pasti ada sebabnya, jika sebelumnya kita bisa melihat kekurangan kita sendiri, maka jawabannya pasti berbeda.
8. Zhang San sedang mengemudikan mobil berjalan di jalan pegunungan, ketika dengan santai menikmati pemandangan yang indah, mendadak dari arah depan datang sebuah truk barang.
Si sopir truk membuka jendela dan berteriak dengan keras, “Babi!”
Mendengar suara ini Zhang San menjadi emosi, dia juga membuka jendela memaki, “Kamu sendiri yang babi!”
Baru saja selesai memaki, dia telah bertabrakan dengan gerombolan babi yang sedang menyeberangi jalan.


Jangan salah tafsir maksud kebaikan dari orang lain, hal tersebut akan menyebabkan kerugian Anda, juga membuat orang lain terhina.
9. Seorang bocah kecil bertanya kepada ayahnya, “Apakah menjadi seorang ayah akan selalu mengetahui lebih banyak dari pada anaknya?”
Ayahnya menjawab, “Sudah tentu!”
“Siapa yang menemukan listrik?”
“Edison.”
“Kalau begitu mengapa bukan ayah Edison yang menemukan listrik?”
Pakar acapkali adalah kerangka kosong yang tidak teruji, lebih-lebih pada zaman pluralis terbuka sekarang ini. 10. Ketika mandi Toto kurang hati-hati telah menelan sebongkah kecil sabun, ibunya dengan gugup menelpon dokter rumah tangga minta pertolongan.
Dokter berkata, “Sekarang ini saya masih ada beberapa pasien, mungkin setengah jam kemudian saya baru bisa datang ke sana.”
Ibu Toto bertanya, “Sebelum Anda datang, apa yang harus saya lakukan?”
Dokter itu menjawab, “Berikan Toto secangkir air putih untuk diminum, kemudian melompat-lompat sekuat tenaga, maka Anda bisa menyuruh Toto meniupkan gelembung busa dari mulut untuk menghabiskan waktu.”


Jika peristiwa sudah terjadi, mengapa tidak dihadapi dengan tenang dan yakin. Dari pada khawatir lebih baik berlega, dari pada gelisah lebih baik tenang.
11. Sebuah gembok yang sangat kokoh tergantung di atas pintu, sebatang tongkat besi walaupun telah menghabiskan tenaga besar, masih juga tidak bisa membukanya.
Kuncinya datang, badan kunci yang kurus itu memasuki lubang kunci, hanya diputar dengan ringan, ‘plak’ gembok besar itu sudah terbuka.


Hati dari setiap insan, persis seperti pintu besar yang telah terkunci, walaupun Anda menggunakan batang besi yang besar pun tak akan bisa membukanya. Hanya dengan mencurahkan perhatian, Anda baru bisa merubah diri menjadi sebuah anak kunci yang halus, masuk ke dalam sanubari orang lain.