SELAMAT DATANG DI NEGERI CODOT, NEGERINYA ACHOUNK EL- ANSHORY

SELAMAT DATANG DI NEGERI CODOT, NEGERINYA ACHOUNK EL- ANSHORY

Jumat, 29 Juli 2011

HIDUP UNTUK MAKAN ATAU MAKAN UNTUK UNTUK HIDUP...???

Mana yang benar? Makan untuk hidup atau hidup untuk makan? Mungkin untuk menjaga wibawa atau memang benar-benar pecaya, kebanyakan orang pasti akan mengatakan makan untuk hidup. Kalau aku pribadi, jujur aja philosofi ku pastilah hidup untuk makan. Dan aku benar-benar percaya akan pandangan ini.
Sebuah pertanyaan yang menggelitik dan sering kita dengarkan, Hidup untuk makan atau makan untuk hidup? setiap orang pasti punya argumentasi yang berbeda tentang hal itu namun sekarang mari kita coba masuk dalam kerangka berfikir "State Of Mind" Kalau setiap saat yang kita pikirkan hanya makanan, maka rasa lapar mudah menghinggapi diri kita. silahkan dicari sendiri ya korelasinya antara proses biologis dengan proses psikologis tentang ungkapan itu, hehehe….

Mari kita lihat faktanya. Secara bahasa, yang benar adalah hidup untuk makan bukanlah makan untuk hidup. Kata-kata makan untuk hidup secara sintaksis tidak dapat diperdebatkan keabsahannya. Dalam tingkatan frase, kata-kata ‘makan untuk hidup’ telah memenuhi kaidah bahasa yang walaupun tidak memiliki subjek tapi telah memiliki predikat.

Namun secara semantik, kumpulan kata-kata itu tidak memiliki arti. Karena dalam tatanan semantik, suatu kalimat atau frase harus memiliki pengertian yang memenuhi logika. Sebagai contoh: ‘anak melahirkan ibunya’. Secara sintaksis kata-kata tersebut adalah kalimat diatas memiliki subjek kata ‘anak’, predikat ‘melahirkan’, dan objek kata ‘ibunya’, tapi kalimat diatas tidak memiliki logika bahasa dimana seorang anak tidak mungkin untuk melahirkan ibunya sendiri. Begitu juga dengan kalimat ‘makan untuk hidup’, kalimat ini memiliki pengertian bahwa makan bukanlah pekerjaan yang absolut dimana ada pilihan lain untuk hidup. Sedangkan kita ketahui bahwa tidak ada satupun manusia diatas dunia ini yang mampu untuk bertahan hidup tanpa ada asupan makanan.

Dalam kehidupan nyata, kalimat ‘hidup untuk makan’ juga lebih tepat daripada ‘makan untuk hidup’ walaupun bakalan banyak orang yang menyangkalnya terutama mereka-mereka yang menerapkan’ hidup untuk makan’.

Kata ‘makan’ dalam konteks ini bukan hanya memiliki arti memakan makanan, namun ‘makan’ memliki arti yang lebih luas. Banyak orang yang berlomba-lomba untuk menumpuk kekayaan dengan cara yang halal maupun haram. Banyak juga yang menggadaikan semua yang dimiliki secara moril maupun materiil untuk mendapatkan kekuasaan. Banyak lagi yang melakukan apa saja untuk mendapatkan popularitas. Jadi makan itu bukan hanya untuk memuaskan nafsu lapar kita akan makanan tapi makan juga adalah tindak kelakuan kita untuk memenuhi nafsu yang lain. 

Dari masa ke masa, jaman ke jaman, manusia selalu berlomba untuk menguasai segala hal yang dapat dikuasai di dunia ini. Jika manusia tidak dapat menguasai suatu hal langsung dari alam atau mampu menciptakan hal untuk memenuhi nafsunya, maka mereka akan berusaha untuk menguasai hal-hal yang telah dikuasai oleh yang lain. Telah banyak manusia yang menjadi korban untuk memenuhi hawa nafsu yang lain dikarenakan keinginannya untuk makan. Karena keinginan manusia untuk makan inilah maka sejarah manusia selalu dipenuhi dengan pembunuhan dan pemerkosaan

Untuk itulah tentang bagaimana semestinya kita menyikapi makanan, Rasulullah pernah bersabda: “makanlah di kala sudah merasa lapar dan berhentilah sebelum kenyang.” Sabda ini mengajarkan pentingnya berbuat bijak pada makanan. Makan secukupnya, tidak berlebihian, sebatas memenuhi asupan gizi dan kebutuhan kalori. Intinya makan sekedar untuk bisa hidup, bukan sebaliknya, hidup untuk makan.

Sayangya, seiring makanan sudah menjadi industri pengepul rupiah melalui bendera wisata kuliner dan iklan makanan bertebaran di mana-mana, tidak sedikit orang yang sulit merasa cukup dan gagal menahan nafsu makannya. Selesai mencoba menu di warung A,  pingin segera mencoba sajian di rumah makan B, kemudian di restoran C, dan begitu seterusnya yang menguatkan sindiran “for human, enough is never enough!” Tanpa sadar, kita termasuk bagian pendukung “ideologi” hidup untuk makan ini dengan aktif memasang status dan gambar makanan yang akan kita santap di FB.  Padahal secara sosial, filosofi hidup untuk makan inilah yang mengantarkan ketimpangan. Di satu pihak, kita saksiakan orang-orang berlebih dengan santai setiap saat bertanya “nanti kita mau makan di mana (?)” sebab bingung menentukan pilihan tempat makan mana yang belum dicoba, namun di pihak lain banyak saudara kita yang masih bertanya “nanti kita mau makan apa (?)” sebab tidak ada yang bisa di makan.

Maka, jangan heran bila bukan sehat yang didapat oleh para pengumbar nafsu makan ini, namun tumpukan lemak yg menimbun di tubuh. Raga tidak lagi menjadi tempat nyaman berdiamnya jiwa, berubah menjadi “tong sampah” berjalan. Obeisitas-pun menjamur dimana-mana.


Jadi sekarang milih yang mana? Pura-pura percaya kalau kita makan untuk hidup atau mau jujur mengakui kalau kita itu hidup untuk makan!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar